Hiburan Musik dan Nyanyian Dalam Pesta
Pernikahan, Bolehkah ?
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ
اارَّحِيم
Bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa
manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk
yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni
lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Sudah umum dilakukan dalam acara-acara hajatan atau perkawinan diramaikan dengan irama musik
dan nyanyian. Karena sudah menjadi keumuman, maka dianggap sudah "lumrah"
bahkan ada yang berani berhutang agar dapat mengundang grup
musik. Jenis nyanyian yang umum diadakan misalnya: Dangdut, Pop, qasidah,
Campursari dan musik Tradisional ; Rock dan keroncong agaknya
jarang dipanggil kalau untuk pernikahan. Artikel ini akan mengajak pembaca
meneliti dengan cermat hukum menyanyi secara umum dan kebolehan menampilkan
nyanyian dalam acara perkawinan.
1. Hukum Melantunkan Nyanyian
(Al-Ghina' / At-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian
mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing.
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nyanyian:
1.
Berdasarkan firman Allah:“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”(Qs. Luqmân
[31]: 6). Beberapa ulama menafsirkan
maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di
antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, IbnuAbbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain
yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61;
dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 .
2.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan
yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik
(al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
3.
Hadits Aisyah r.a., Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian
(qoynah) dan menjual-belikannya, mempelajarinya atau mendengarkannya.” Kemudian
beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi
Dunya dan Ibnu Mardawaih].
4.
Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air
menumbuhkan kembang.” [HR.
Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
5.
Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus
padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya
pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya].
6.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf r.a., bahwa Rasulullah
Saw bersabda: “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang
melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2.
Ratapan seorang ketika mendapatmusibah sehingga menampar wajahnya
sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan(rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan
Nyanyian:
1.
Firman Allah swt.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah
kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (Qs.
al-Mâ’idah [5]: 87).
2.
Hadits dari Nafi’ r.a, katanya: "Aku
berjalan bersama Abdullah Bin Umar r.a. Dalam perjalanan kami
mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus
berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku
menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang
dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
3.
Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: "Nabi
Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti
dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul
gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang
Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada
Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw
bersabda:“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR.
Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah r.a.].
4.
Dari 'Aisyah r.a.;
dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tibaRasulullah
Saw bersabda:“Mengapa tidak kalian adakan
permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
5.
Dari AbuHurairah r.a.,:" sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan
sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak
setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana
ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
2.
Kesimpulan
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah
bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut
·
Boleh pada hari raya dan pernikahan. Bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum
umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau
perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi,
atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya atau
pada hari pernikahan.
·
Haramnya mutlak, bolehnya terbatas. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang
menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada
batasan atau kriterianya) (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 102-103).
·
Jenis nyanyian yang haram. Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada
yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan
pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai
dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul),
perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya
disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur
pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak
pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme,
dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil
yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur
kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat
Allah swt., mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu,
menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
·
Wallahu a'lam.
3. Nyanyian Dalam Acara Pernikahan
Menurut kitab Fikih Sunnah, karya Sayyid Saabiq, hiburan
nyanyian dalam pesta pernikahan termasuk kegiatan yang dibolehkan dan disenangi
oleh Islam, guna menyenangkan dan membuat pengantinperempuan giat, asal saja hiburannya
sehat. Pesta perkawinan wajib dijauhkan dari acara yang tidak sopan, pornp,
campur gaul antara laki-laki dan perempuan, begitu pula perkataan yang keji dan
tak pantas didengarkan.
Yang melandasi kebolehannya adalah
beberapa hadits sebagai berikut
1.
Dari Amir bin Sa'ad, ia berkata: "Saya masuk ke rumah Quradhah bin Ka'ab ketika hari
perkawinan Abu Mas'ud Al Anshari. Tiba-tiba beberapa anak perempuan
bernyani-nyanyi, lalu saya bertanya: "Bukankah Anda berdua adalah sahabat
Rasulullah saw. dan pejuang Badr, mengapa ini terjadi di hadapan Anda?"
Maka jawab mereka: "Jika Anda suka, maka boleh mendengarnya bersama kami
dan jika Anda tak suka maka Anda boleh pergi. Karena kami diberi kelonggaran
untuk mengadakan hiburan pada acara perkawinan. (H.R.Nasa'i dan Hakim dan beliau mensahkannya).
2.
'Aisyah mengiringkan Fathimah binti As'ad dengan disertai pula oleh Nabith bin Jabir Al-Ansharipada hari-hari perngantinnya ke rumah suaminya.
Lalu Nabi saw. bersabda: "Wahai
'Aisyah, mengapa tidak kamu sertai dengan hiburan? sesungguhnya orang-orang
Anshar senang hiburan." (H.R.Bukhari, Ahmad dan lainnya).
3.
Dari Rubaiyai' binti Mu'awwidz, ia berkata: "Ketika
perkawinanku, Rasulullah saw. datang, lalu duduk di atas tempat tidurku,
kemudian anak-anak gadis kamu memulai memukul rebana dan bersenandung memuji
salah seorang nenekku yang terbunuh di Perang Badar. Tiba-tiba salah seorang
anak gadis itu mengucapkan pantun begini ..., sedang di tengah-tengah kita ada
Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi di esok hari." Lalu Rasulullah
saw. menyahut: " Tinggalkanlah ucapan itu, Dan katakanlah begini: Demi
Tuhan yang engkau biasa sebutkan."(Rasulullah
melarang ucapan tadi, karena hanya Allah yang mengetahui yang ghaib - Dalam hadits lain disebutkan:
"Tak ada yang dapat mengetahui apa
yang terjadi esok hari, kecuali Allah"(H.R.Bukhari).
Sebarkan !!! insyaallah bermanfaat.
No comments:
Post a Comment