PELANGGARAN SEPUTAR
PERNIKAHAN : IKHTILAT, MUSIK, MENINGGALKAN SHALAT WAJIB
PELANGGARAN-PELANGGARAN
SEPUTAR PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN ATAU DIHILANGKAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
9. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki dan wanita sehingga terjadi pandang-memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Padahal, laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan, berdasarkan firman Allah:
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki dan wanita sehingga terjadi pandang-memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Padahal, laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan, berdasarkan firman Allah:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ
ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
ke-maluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” [An-Nuur : 30]
Begitu pun menyentuh
dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram adalah diharamkan dalam
syari’at Islam, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ
النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِيْ ِلامْرَأَةٍ
وَاحِدَةٍ.
“Sesungguhnya aku
tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama
halnya dengan ucapanku kepada seorang wanita.”[1]
Dalam hadits yang
lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ يُطْعَنَ فِي
رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ
امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ.
“Sungguh, ditusuknya
kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya
daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [2]
Menurut syari’at
Islam, antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah sehingga apa yang
kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, “Di antara perkara munkar yang
diadakan manusia pada zaman ini adalah meletakkan pelaminan pengantin di
tengah-tengah kaum wanita dan menyandingkan suaminya di sisinya, dengan
dihadiri wanita-wanita yang berdandan dan bersolek. Mungkin juga yang
menghadiri adalah kerabat pengantin pria dan wanita dari kalangan laki-laki.
Orang yang memiliki fitrah yang selamat dan kecemburuan terhadap agama akan mengetahui kerusakan yang besar dari perbuatan ini, dan memungkinkan kaum pria asing melihat para pemudi yang bersolek, serta akibat buruk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya…”[3]
Orang yang memiliki fitrah yang selamat dan kecemburuan terhadap agama akan mengetahui kerusakan yang besar dari perbuatan ini, dan memungkinkan kaum pria asing melihat para pemudi yang bersolek, serta akibat buruk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya…”[3]
10. Musik
Kemungkaran lain dalam pernikahan adalah adanya musik, baik berupa alat musik, lagu atau nyanyian atau panggung hiburan. Parahnya lagi, ada yang sengaja mendatangkan para biduan dan biduanita ke pesta pernikahan untuk menghibur para tamu undangan.
Kemungkaran lain dalam pernikahan adalah adanya musik, baik berupa alat musik, lagu atau nyanyian atau panggung hiburan. Parahnya lagi, ada yang sengaja mendatangkan para biduan dan biduanita ke pesta pernikahan untuk menghibur para tamu undangan.
Musik dalam pandangan
Islam hukumnya haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ
أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ، …
“Sungguh, akan ada di
antara ummatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan
alat-alat musik.” [4]
Demikian juga lagu
dan nyanyian, dalam syari’at Islam hukumnya haram. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh adzab yang menghinakan.” [Luqman : 6]
Ayat yang mulia ini
ditafsirkan oleh Shahabat, Tabi’in dan ulama ahli tafsir dengan rincian sebagai
berikut:
Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini turun tentang masalah nyanyian dan
sejenisnya.” [5]
‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Maksud dari لَهْوَ الْحَدِيثِ (percakapan
kosong) adalah lagu dan nyanyian. Demi Allah yang tiada ilah (yang berhak
diibadahi dengan benar) melainkan Dia!” (Beliau mengulangi perkataannya tiga
kali)[6]
Penafsiran yang sama
dijelaskan juga oleh Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, ‘Amr
bin Syu’aib dan ‘Ali bin Badzii. [7]
Hasan al-Bashri
menafsirkan ayat ini dengan alat musik.
‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu berkata:
اَلْغِنَاءُ يُنْبِتُ
النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ.
“Lagu dan nyanyian
menimbulkan kemunafikan dalam hati.” [8]
Semua jenis alat
musik diharamkan dalam Islam.
Hanya ada satu alat
musik yang boleh dimainkan, yaitu rebana. Itu pun hanya boleh dilakukan pada
tiga keadaan: ketika ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adh-ha, dan pesta pernikahan. Dengan
syarat, alat musik ini hanya boleh dimainkan oleh gadis-gadis kecil yang belum
baligh.
Pada hari pernikahan dianjurkan agar ditabuhkan rebana. Hal ini memiliki
dua faedah, yaitu:
1. Publikasi pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
1. Publikasi pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan
hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ
الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ.
“Pembeda antara
perkara yang halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah tabuhan
rebana dan nyanyian.” [9]
• Tentang Nasyid.
Di antara kemunkaran dalam pesta pernikahan adalah dipanggilnya “tim Nasyid” untuk memeriahkan pernikahan. Padahal para ulama telah menggariskan bahwa nyanyian dalam pesta pernikahan hanyalah boleh dilakukan oleh gadis-gadis kecil dan boleh juga dengan menggunakan kaset, apabila tidak ada gadis-gadis kecil yang menyanyi secara langsung.
Di antara kemunkaran dalam pesta pernikahan adalah dipanggilnya “tim Nasyid” untuk memeriahkan pernikahan. Padahal para ulama telah menggariskan bahwa nyanyian dalam pesta pernikahan hanyalah boleh dilakukan oleh gadis-gadis kecil dan boleh juga dengan menggunakan kaset, apabila tidak ada gadis-gadis kecil yang menyanyi secara langsung.
Sudah bukan rahasia
lagi bahwa nasyid yang di-nyanyikan oleh para pemuda itu dimainkan dengan
alat-alat musik, atau mereka menggunakan “acapela” sebagai ganti alat-alat
musik dengan menggunakan ‘mulut’ mereka. Padahal alat-alat musik hukumnya
haram.
Mengenai “acapela”,
maka patutkah seorang muslim mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Yaitu
dengan meniru suara gendang, bass, dan alat-alat musik lainnya. Bahkan, karena
terlalu asyiknya hingga mereka menggoyang-goyangkan badan dan kaki mereka.
Innaa lillaahi wa
inna ilaihi raaji’uun.
Para ulama senantiasa
berpesan agar menjauhi nasyid dan mengakrabkan diri dengan membaca ayat-ayat
Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad
al-‘Utsaimin rahimahullaah pernah ditanya, “Bolehkah laki-laki melantunkan
nasyid Islami? Bagaimana jika diiringi dengan rebana? Dan bolehkah dilantunkan
selain pada waktu hari ‘Ied dan pernikahan?”
Maka Syaikh menjawab,
“Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Nasyid-nasyid Islami adalah perkara bid’ah yang
diada-adakan oleh orang-orang Sufi yang banyak memalingkan manusia dari
Al-Qur-an dan Al-Hadits. Terkecuali di tempat-tempat jihad yang dimaksudkan
untuk membangkitkan keperwiraan dan semangat jihad fii sabilillaah. Namun jika
diiringi rebana, maka ini adalah perkara yang jauh dari kebenaran.” [10]
Dengan demikian,
nasyid-nasyid yang dibawakan oleh para pemuda, baik dengan alat-alat musik yang
mereka mainkan maupun dengan mulut-mulut mereka yang menirukan alat-alat musik,
adalah kemunkaran dalam pesta yang harus dihindari. Mudah-mudahan Allah
memberikan taufik kepada pemuda agar senang membaca dan mendengarkan Al-Qur-an
dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih bin
Fauzan al-Fauzan hafizhahullaah ditanya mengenai (hukum) nasyid. Beliau
ditanya, “Banyak ulasan dan komentar mengenai nasyid Islami. Sementara di sana
ada yang memfatwakan bolehnya dan ada pula yang mengatakannya sebagai pengganti
kaset-kaset lagu. Lalu apakah pendapat Syaikh tentang hal ini?”
Maka Syaikh menjawab,
“Penyebutan nama (Islami) ini sama sekali tidak benar. Itu adalah penamaan yang
baru. Di seluruh kitab para Salaf maupun pernyataan para ulama, tidak ada nama
nasyid Islami. Yang ada, bahwa orang-orang Sufi menciptakan lagu-lagu yang
dianggap sebagai agama, yang disebut dengan as-sima’. Karena zaman sekarang
banyak golongan, partai dan jama’ah, maka setiap golongan, partai atau jama’ah
memiliki nasyid sendiri-sendiri. Untuk menjaga ke-langsungannya mereka
menamakannya nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar dan tidak boleh mengambil
nasyid-nasyid itu dan tidak boleh memasarkannya kepada manusia.” [11]
Kesimpulannya, bahwa
nasyid pada hari pernikahan dibolehkan selama isi nasyid tersebut tidak keluar
dari etika Islam. Juga dengan syarat nasyid tersebut hanya boleh dinyanyikan
oleh gadis-gadis kecil dengan menggunakan duff (rebana), baik secara langsung
maupun dengan kaset. Dan tidak boleh dibawakan oleh laki-laki dewasa, apalagi
dengan menggunakan alat musik, baik langsung maupun dengan kaset.
11. Meninggalkan Shalat Wajib
Termasuk dalam kemungkaran pernikahan adalah kedua mempelai beserta keluarga meninggalkan shalat wajib yang lima waktu.
Termasuk dalam kemungkaran pernikahan adalah kedua mempelai beserta keluarga meninggalkan shalat wajib yang lima waktu.
Sangat disayangkan,
sebagian besar kaum muslimin sengaja meninggalkan shalat wajib ketika mereka
melakukan resepsi pernikahan. Padahal, bagaimana pun keadaannya seorang muslim
tetap wajib mengerjakan shalat yang lima waktu. Banyaknya tamu, make-up yang
menempel di wajah atau gaun pengantin yang dikenakan seharusnya tidak
menghalangi dia untuk melakukan shalat.
Menikah bukanlah satu
alasan yang membolehkan pengantin wanita meninggalkan shalat, begitu pula
pengantin pria tidak boleh meninggalkan shalat berjama’ah.
Meninggalkan shalat
wajib adalah dosa besar yang paling besar! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas)
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
[12]
Hendaklah seorang
muslim memperhatikan kewajiban terhadap Rabb-nya pada hari yang paling istimewa
baginya.
12. Lukisan, gambar dan patung
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah adanya lukisan-lukisan, gambar-gambar makhluk bernyawa, patung-patung, termasuk juga fotografi dengan tujuan untuk kenangan pernikahan.[13]
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah adanya lukisan-lukisan, gambar-gambar makhluk bernyawa, patung-patung, termasuk juga fotografi dengan tujuan untuk kenangan pernikahan.[13]
Apabila di dalam
suatu rumah terdapat lukisan (gambar) makhluk bernyawa, patung, atau anjing,
maka Malaikat rahmat tidak akan masuk ke rumahnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تَدُخُلُ
الْمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ تَصَاوِيْرُ.
“Malaikat tidak akan
memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” [14]
Juga sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَدْخُلُ
الْمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ تَمَاثِيْلُ أَوْ تَصَاوِيْرُ.
“Malaikat tidak akan
memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar
(lukisan).” [15]
13. Pelanggaran-pelanggaran Lainnya
Membuat panggung-panggung hiburan seperti dangdut, wayang, ketoprak, gambus, marawis, dan sejenisnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin, karena termasuk perbuatan menyia-nyiakan waktu dan hartanya untuk perbuatan maksiat. Contoh pelanggaran berikutnya yaitu menggelar pesta joget muda-mudi yang jelas merusak generasi muda Islam.
Membuat panggung-panggung hiburan seperti dangdut, wayang, ketoprak, gambus, marawis, dan sejenisnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin, karena termasuk perbuatan menyia-nyiakan waktu dan hartanya untuk perbuatan maksiat. Contoh pelanggaran berikutnya yaitu menggelar pesta joget muda-mudi yang jelas merusak generasi muda Islam.
Selain itu juga
adanya “standing party”, yaitu makan atau minum sambil berdiri di pesta
pernikahan. Makan dan minum sambil berdiri dilarang dalam Islam.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ
يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا.
“Dari Anas
radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
melarang sese-orang minum sambil berdiri.”
Qatadah berkata,
“Kami bertanya kepada Anas radhiyallaahu ‘anhu, ‘Bagaimana dengan makan sambil
berdiri?’ Maka ia menjawab,
ذَلِكَ أَشَرٌّ أَوْ
أَخْبَثُ.
‘Itu lebih jelek atau
lebih buruk lagi!’” [16]
Pelanggaran lainnya
yaitu makan dan minum dengan tangan kiri. Islam melarang makan dan minum dengan
tangan kiri, karena syaitan makan dan minum dengan tangan kiri.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ.
“Apabila seseorang
dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan apabila ia minum, maka
minumlah dengan tangan kanannya. Karena sesungguhnya syaitan makan dengan
tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” [17]
Pelanggaran lainnya
adalah membaca syahadat bagi seorang muslim ketika ijab qabul pernikahan, atau
pembacaan “shighat ta’liq” yaitu ta’liq talak (menggantungkan talak) oleh
pengantin pria seusai akad nikah, atau membaca surat al-Fatihah ketika akad
nikah [18], ratiban, atau melakukan kawin lari. Semua perbuatan ini tidak ada
contoh dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh
para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Itulah sebagian
pelanggaran yang sering dilaku-kan dan masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran lainnya.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/357), Malik (II/749, no. 2), al-Humaidi (no. 341), at-Tirmidzi (no. 1597), an-Nasa-i dalam Sunannya (VII/149) juga dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 358), Ibnu Majah (no. 2874), Ibnu Hibban (no. 14—al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXIV/186-187, no. 470-472), dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiyallaahu ‘anha. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 529).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani (XX/211-212, no. 486-487) dari Sahabat Ma’qil bin Yasar. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5045) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 226).
[3]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/188).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5590), Fat-hul Baari (X/51-52), al-Baihaqi (X/221), dari Shahabat Abu Malik al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 1265, lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 955), Ibnu Jarir dalam Tafsiirnya (no. 28043) dan al-Baihaqi (X/221, 223).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (no. 28040) dan al-Hakim (II/411), ia berkata, “Sanadnya shahih.”
[7]. Lihat Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsiir Ibnu Katsir.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzamul Malahi dan al-Baihaqi (X/223). Lihat Tahriim Aalaat ath-Tharb oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmidzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/184) dan ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[10]. Dinukil dari al-Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 40), cet. Maktabah al-Furqan.
[11]. Majalah ad-Da’wah edisi 1632, 7 Dzul Hijjah 1418 H. Lihat Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 37).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Lihat pembahasan tentang masalah ini dalam Aadabuz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 185-196) oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dan Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (IV/210-225) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullaah.
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5949), Muslim (no. 2106) dan an-Nasa-i (VIII/213), dari Abu Thalhah radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2112).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2024 (113)). Tentang larangan minum sambil berdiri, bisa dilihat dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 175, 176, dan 177).
[17]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2020 (105)) dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Membaca al-Fatihah tidak disyari’atkan, bahkan ini adalah bid’ah.” (Lihat al-Bida’ wal Muhdatsaat wamaa Laa Asla Lahu, hal. 469)
_______
Footnote
[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/357), Malik (II/749, no. 2), al-Humaidi (no. 341), at-Tirmidzi (no. 1597), an-Nasa-i dalam Sunannya (VII/149) juga dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 358), Ibnu Majah (no. 2874), Ibnu Hibban (no. 14—al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXIV/186-187, no. 470-472), dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiyallaahu ‘anha. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 529).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani (XX/211-212, no. 486-487) dari Sahabat Ma’qil bin Yasar. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5045) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 226).
[3]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/188).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5590), Fat-hul Baari (X/51-52), al-Baihaqi (X/221), dari Shahabat Abu Malik al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 1265, lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 955), Ibnu Jarir dalam Tafsiirnya (no. 28043) dan al-Baihaqi (X/221, 223).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (no. 28040) dan al-Hakim (II/411), ia berkata, “Sanadnya shahih.”
[7]. Lihat Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsiir Ibnu Katsir.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzamul Malahi dan al-Baihaqi (X/223). Lihat Tahriim Aalaat ath-Tharb oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmidzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/184) dan ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[10]. Dinukil dari al-Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 40), cet. Maktabah al-Furqan.
[11]. Majalah ad-Da’wah edisi 1632, 7 Dzul Hijjah 1418 H. Lihat Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 37).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Lihat pembahasan tentang masalah ini dalam Aadabuz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 185-196) oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dan Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (IV/210-225) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullaah.
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5949), Muslim (no. 2106) dan an-Nasa-i (VIII/213), dari Abu Thalhah radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2112).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2024 (113)). Tentang larangan minum sambil berdiri, bisa dilihat dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 175, 176, dan 177).
[17]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2020 (105)) dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Membaca al-Fatihah tidak disyari’atkan, bahkan ini adalah bid’ah.” (Lihat al-Bida’ wal Muhdatsaat wamaa Laa Asla Lahu, hal. 469)
No comments:
Post a Comment